Tante saya, seorang penulis puisi Mandarin pernah memberikan sebuah buku berisi kumpulan puisi Mandarin karya sastrawan Tionghoa Indonesia. Judul buku itu adalah "Menyangga Dunia Di Atas Bulu Mata". Sebagai alih bahasa, tercantum nama Wilson Tjandinegara. Saya sangat tertarik dengan tokoh satu ini.



Wilson Tjandinegara lahir di Makasar,Sulawesi Selatan 20 Desember 1946 dan meninggal dunia pada 10 Februari 2017. Tepat pada hari pemakamannya, Minggu 12 Februari 2017 saya membaca tulisan apresiasi Shaifuddin Bahrun –salah seorang sahabat Wilson- di harian Fajar berjudul “Memorabilia Wilson Tjandinegara, Penyair Indonesia Keturunan Tionghoa Makassar”.
Beliau adalah seorang pembelajar mandiri. Bersekolah hanya sampai SMP karena harus membantu orang tua mencari nafkah. Kemudian ia merintis usaha toko buku yang diberinama Toko Buku Artis, yang menjadi toko buku terkemuka di kotanya. Motto hidupnya adalah: tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat.

Nama Wilson Tjandinegara atau Tjan Dong Long –bagi kalangan sastrawan muda—di Sulsel mungkin memang tidak banyak dikenal karena dia memang jarang mdnghadiri even-even sastra yang diselenggarakan di kota Makassar. Terutama setelah dia hijrah ke Tangerang. Dia mulai menulis sekitar tahun 1990-an di dua media besar Sulsel, yaitu Harian Pedoman Rakyat dan Harian Fajar. Sedang tulisan-tulisannya yang lain kebanyakan dimuat di media berbahasa Mandarin, baik yang terbit di Jakarta maunpun di Tiongkok. Wilson memang dapat menulis dengan baik dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan Mandarin.

Wilson seorang keturunan Tionghoa. Dia adalah penyair petualang. Dia suka berkelana dan belajar secara otodidak. Dia sempat berkeliling dunia, mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan belajar sastra dan budaya dari negeri-negeri yang dikunjunginya. Dia memiliki motto yang dipetik dari petua Tiongkok Kuno yang menganjurkan agar orang tidak hanya banyak membaca, tapi juga harus banyak bertualang mengadakan observasi dan perbandingan. Sejak tahun 1995, ia memutuskan untuk hijrah ke Tangerang, meninggalkan dunia bisnisnya yang mulai menanjak, mengikuti panggilan hati nuraninya sebagai penyair. Di Tangerang dia bergabung dengan komunitas-komunitas sastra seperti Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Perhimpunan Penulis Yin Hua sambil menjadi bagian penting dari komunitas-komunitas etnis Tionghoa yang bergerak di bidang pendidikan, seni dan budaya. Di sana Wilson sepenuhnya hidup sebagai sastrawan, wartawan, penerjemah, dokumenter dan fotografer. Sebagai fotografer dia telah berkeliling di sebelas kota mengadakan pameran foto hasil karyanya.

Tjan Dong Long, adalah nama kecil Wilson Tjandinegara. Dia lahir dalam keluarga keturunan Tionghoa di Ujungpandang pada 20 Desember 1946. Sebagai etnis keturunan Tionghoa –sebagaimana etnis keturunan lainnya yang bernaluri bisnis– Wilson Tjandinegara pun tidak lepas dari kehidupan dunia bisnis. Puluhan tahun dia menggeluti bisnis buku dan membangun toko buku yang cukup besar dan legendaris di kota Parepare. Toko buku “Artis”, satu-satunya toko buku di kota tersebut yang menyediakan koleksi buku-buku sastra terbilang lengkap. Toko buku yang kini diserahkan pengelolaannya pada anaknya– sejak dia memutuskan untuk hijrah pada kehidupan lain, kehidupan sastra secara total.

Perkenalan saya dengan Wilson terjadi pada tahun 1995 saat toko bukunya “Artis” Parepare menggelar helatan 25 tahun. Salah satu acaranya adalah Lomba Baca Puisi 25 tahun Toko Buku Artis. Saya, Tri Astoto Kodarie (penyair), M. Arifin Zaidin (penulis dan dosen UT) dan Jurlan M. Sao’as (redaktur Budaya Harian Pedoman Rakyat) diundang sebagai Dewan Juri. Nama Wilson Tjandinegara waktu itu sudah sangat akrab dengan kami karena seringnya menulis puisi di Harian Pedoman Rakyat. Sejak itu Wilson dan Tri Astoto telah menjadi dua sahabat dari utara (kota parepare), sedang M. Arifin Zaidin dan Jurlan M. Saho’as adalah dua sahabat dari selatan (Kota Makassar). Dan bersama dengan sahabat-sahabat lain dari utara kami menggagas sebuah komunitas bernama “Komunitas Sastra Ajattappareng” (yang meliputi wilayah Barru-Parepare-Pinrang-Sidrap). Sayang karena kesibukan kami masing-masing, komunitas ini hanya tercatat pada buku “Direktori Seni Budaya Indonesia” yang diterbitkan oleh Yayasan Kelola, namun kegiatan-kegiatannya tidak terkelola dengan baik hingga berhenti.

Suatu hari dua sabahat dari Parepare, Wilson Tjandinegara dan Tri Astoto Kodarie melakukan kunjungan silaturrahim ke rumah panggung di Madello yang di belakangnya selalu digempur ombak Selat Makassar itu. Mereka berdua datang membawa gagasan besar untuk menerbitkan buku puisi (Waktu itu menerbitkan buku bagi kami masih merupakan impian). Wilson Tjandinegara mengaku sangat terobsesi pada sebuah rumah panggung. Saya senang tinggal di sebuah rumah panggung seperti ini, katanya. Sedang Tri Astoto Kodarie berkata bahwa suara ombak selalu mengilhaminya menciptakan sebuah puisi.

Dari Tangerang Wilson mengirimi sahabatnya buku kumpulan puisinya berjudul “Rumah Panggung di Kampung Halaman”, sebuah buku dwibahasa Indonesia-Mandarin yang diterbitkan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) pada tahun 1999 dengan pengantar dari penyair senior Slamet Sukirnanto, sedang Tri Astoto Kodarie mempersembahkan pula sebuah kumpulan puisi yang kebanyakan bercerita tentang laut, ombak, hujan, badai, berjudul “Hujan Meminang Badai” diterbitkan oleh Akar Indonesia dengan pengantar dari kritikus Maman S. Mahayana pada tahun 2007.

Setelah hijrah dari dunia bisnis ke dunia literasi Wilson Tjandinegara terus berkarya di Tangerang. Praktis namanya semakin tak lagi dikenal di jagad sastra Sulsel. Tapi sayapnya semakin melebar. Dia tidak saja menulis puisi dalam dua bahasa, tapi dia juga telah menerjemahkan karya-karya sastra China kontemporer ke dalam bahasa Indonesia. Kemahirannya dalam dua bahasa (Indonesia-Mandarin) dan keluasan frame of reference dari kedua budaya bangsa yang dikuasainya menyebabkan dia digelari sebagai pelopor pembauran di bidang budaya. Dalam karya sastra ini penyair senior Taufik Ismail menggelari Wilson Tjandinegara sebagai aktivis tiga jurus: pejuang hubungan antar budaya, penerjemah karya sastra timbal bailk Indonesia-Mandarin-Indonesia, dan penyair dwibahasa.

Wilson yang terus produktif menggeluti dunia penerjemahan sastra-budaya Indonesia-Mandarin-Indonesia telah melahirkan buku-buku sastra terjemahan yang diakui oleh kalangan sastrawan. Para sastrawan maupun peneliti sastra senior Indonesia seperti Taufik Ismail, Sapardi Joko Damono, Abdul Hadi WM, Slamet Sukirnanto, Iwan Fridolin, Melani Budianta, sampai kepada peneliti sastra asing Glaudi Salamon, Wang Meng (Mantan Menteri Kebudayaan China), Prof. Yang Queeyee (pakar bahasa Melayu), Prof. Huang Kunzhang (Universitas Jinan, Guangchou) menaruh respek pada karya-karya sastra terjemahan Wilson Tjandinegara baik sastra Indonesia yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Mandarin maupun sastra Mandarin yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Wilson Tjandinegara adalah sosok pembelajar yang tidak pernah berhenti belajar.

“Saya terus belajar dan saya tidak akan pernah berhenti belajar hingga ajal menjemput” katanya suatu hari saat pulang dari lawatannya di negeri leluruhnya Tiongkok. “Saya akan menerjemahkan beberapa buku lagi, juga buku-buku biografi” itu kata dia pada surat terakhirnya pada sahabat sastrawannya di Sulawesi beberapa tahun lalu.

Mendiang Wilson Tjandinegara telah menulis puluhan buku sastra antara lain kumpulan puisi berjudul “Puisi untukmu” (1975, Editor Tri Astoto Kodarie), “Bisikan Hati” (1997, terjemahan karya Teo Un), “55 Puisi Cinta Mandarin” (1998, terjemahan), “Menyangga Dunia di Atas Bulu Mata (1998, terjemahan), Kumpulan Cerpen Mini Yin Hua (1999, terjemahan), Rumah panggung di Kampung Halaman (1999, kumpulan puisi dwibahasa), 101 Puisi Mandarin (2000, terjemahan), Lelaki adalah Sebingkai Lukisan (2000, terjemahan), Janji Berjumpa di Kota Pegunungan ((2000, terjemahan), Sajak Klasik Dinasti Tang (2001, terjemahan dwibahasa), Memoar Pendiri Grup HERO (biografi bersama Paul Kurniawan), Bayangan Air Mata dari Taman Firdaus (2002, foto reportase), Merajut Harapan Anak Pinggiran (2004, reportase bersama Aida Liang), Elegi Akar Rumput (2006, Antologi Foto dan Puisi).